Jumat, 12 September 2008

Fenomena Golput 2

Fenomena Golput

Senin (7/7) malam lalu menjadi saat-saat paling menegangkan bagi partai-partai politik di Indonesia, terutama yang baru berdiri. Ada kecemasan menunggu penantian panjang selama ini. Apa sebenarnya yang terjadi pada Senin malam itu?

Saat itulah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan kontestan peserta pemilihan umum (Pemilu) 2009 mendatang. Malam itu KPU menetapkan 34 partai politik nasional dan enam partai lokal di Aceh berhak menjadi peserta pemilu legislatif 9 April tahun depan. Jumlah itu lebih banyak daripada Pemilu sebelumnya yang hanya 24 parpol.

Sesuai UU No.10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD setelah ditetapkan KPU, parpol peserta Pemilu 2009 dapat langsung berkampanye yang bisa dimulai 12 Juli lalu. Aturan dalam UU No.10/2008 bisa dikatakan sebagai perubahan yang cukup radikal dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya yang hanya menyediakan masa kampanye selama tiga minggu.

Dengan UU tersebut, ada waktu sekitar delapan bulan bagi setiap parpol menyosialisasikan diri dan mempengaruhi pemilih. Waktu yang panjang untuk berkampanye bahkan layak disebut “kampanye maraton”. Dalam maraton, hanya peserta yang berstamina tinggi dan pandai mengatur nafas yang mampu menjadi juara.

Meskipun jarak tempuh mirip maraton, dari urutan start, Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari mengibaratkan, kampanye Pemilu mirip dengan balapan mobil Formula Satu (F-1). Dalam F-1, peserta tidak berangkat dari garis start yang sejajar. Ada mobil yang start di depan (pole position). Ada yang di urutan 2, 3, 4 dan seterusnya. Balapan F-1 menjadi lebih menarik tiap musimnya karena adanya “pendatang baru terbaik” (rookie of the year).

Bagaimanakah dukungan terhadap parpol saat Pemilu legislatif 2009 mendatang? Adakah potensi kejutan berupa rookie of the year? Ataukah terjadi kejutan seperti terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang banyak dimenangkan golput?


Belajar dari Pilkada

Sebelum memprediksi siapa parpol yang bakal menjadi pionir dalam Pemilu mendatang, ada pelajaran berharga yang bisa didapatkan dalam ajang Pilkada di beberapa daerah. Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dari 26 Pemilu kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak 2005 hingga 2008, 13 pemilu gubernur justru ‘dimenangi’ golongan putih alias golput. Artinya, jumlah dukungan suara bagi gubernur pemenang Pilkada kalah ketimbang jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Kondisi itu menular ke Ibukota Negara DKI Jakarta. Jumlah masyarakat yang tidak memilih diperkirakan mencapai 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih, sementara sebagai pemenang, Fauzi Bowo hanya dipilih 2 juta orang pemilih (35,1%).

Menurut hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI), angka golput malah jauh lebih besar, yakni mencapai 65%. Direktur LSI Saiful Mujani memperkirakan, besarnya potensi golput Pilkada DKI Jakarta karena sebagian besar warga Ibukota meragukan proses pesta demokrasi yang baru pertama kali digelar di Jakarta ini.

Dari DKI Jakarta, Pilkada berlanjut ke Jawa Barat. Meski pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf berhasil mengantongi suara terbanyak dibandingkan kontestan lain, yaitu dengan perolehan 7.287.647 suara, jumlah golput jauh lebih besar; mencapai 9.130.594 suara.

Begitu juga pada Pilkada Jawa Tengah yang dimenangi pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih dengan 6.084.261 suara. Jumlah golput di Jawa Tengah justru menembus angka 11.854.192 suara. Angka ini sangat menggiurkan bagi Parpol peserta Pemilu 2009.

Di Provinsi Jawa Timur idem dito. Meski harus ditempuh dalam dua putaran, pada putaran pertama sudah terlihat; golputlah pemenangnya. Ketidakpercayaan warga Jawa Timur terhadap pagelaran demokrasi Pilkada menunjukkan angka yang cukup fantastis. Jumlah golput pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 23 Juli lalu, mencapai 38,37% suara, atau 11.152.406 juta penduduk tidak menggunakan hak pilihnya.

Menurut, catatan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Jatim, jumlah suara sah dalam Pilgub sebanyak 17.014.266 juta, sedangkan yang tidak sah ada 895.045 suara. Total pemilih Pilgub Jatim sebanyak 29.061.718 juta penduduk.

Tidak beda jauh dengan Pilgub, Pilkada kabupaten/kota mengalami hal sama. Catatan JPPR menunjukkan, dari 130 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilu, 39 Pilkada kabupaten/kota, golput menempati nomor wahid.

Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow menilai, rendahnya partisipasi masyarakat membuat legitimasi gubernur-wakil gubernur terpilih sangat rendah di mata rakyatnya sendiri. Bahkan dia memprediksi, besarnya jumlah golput dalam Pilkada akan merembet ke Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, dan Pemilu Presiden pada 2009.


Mengapa Golput?

Besarnya masyarakat yang tidak memilih saat Pilkada menunjukkan banyaknya massa yang masih mengambang. Dalam bahasa sosiologi politik, massa mengambang disebut sebagai floating mass atau kadang juga disebut floating voters. Mengambang artinya tidak ke sana, tidak ke sini atau tidak ke mana-mana. Jadi, massa mengambang menunjukkan sekelompok orang yang tidak menentukan pilihan mereka kepada suatu partai atau calon tertentu dalam suatu pemilihan. Padahal kita semua mengetahui bahwa calon-calon dalam Pilkada adalah yang mendapat dukungan dari partai politik. Ini menjadi sebuah fenomena tersendiri menjelang Pemilu 2009 mendatang.

Minimnya partisipasi masyarakat dalam ajang Pilkada bukannya tanpa sebab yang jelas. Selain faktor administrasi seperti buruknya pendataan calon pemilih, Bustami Rahman, Rektor Universitas Bangka Belitung memperkirakan, tingginya angka masyarakat yang tidak atau belum memiliki pilihan tersebut lebih banyak karena tidak tahu-menahu tentang calon. Tragisnya, mereka juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Orang-orang seperti ini, menurutnya, sangat mudah mendapat ‘serangan fajar’ atau apa pun namanya.

Namun, Bustami menamakan kelompok ini bukan sebagai massa mengambang, melainkan absent minded mass untuk menunjukkan sekelompok orang yang not attentive, blank terhadap apa yang terjadi. Di Indonesia kelompok seperti ini sangat banyak. “Inilah sekilas gambaran tentang realitas sosial politik bangsa kita sekarang,” tegas Bustami seperti dikutip Media Indonesia.

Hal senada juga dilontarkan Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arief Setiawan. Tingginya angka yang tidak menggunakan hak dalam Pilkada, kata dia, karena pemilih tidak mengenal calon kepala daerahnya. Sebab lain adalah lunturnya kepercayaan masyarakat karena merasa telah dibohongi oleh kepala daerah yang terpilih. Akibatnya, masyarakat pun lebih memilih tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilu.

Apatisme masyarakat itu, menurut Arief, tampak dalam Pilkada yang telah digelar di sejumlah daerah. Dalam Pilkada, terlihat jumlah masyarakat yang tidak menggunakan hak politiknya cukup tinggi mencapai 40-50%. “Rendahnya partisipasi masyarakat itu dikhawatirkan juga akan terjadi pada Pemilu mendatang,” ujar Arief memprediksi.

Kekecewaan pemilih di Indonesia sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 2000 atau pasca Pemilu multipartai pertama tahun 1999. Harapan masyarakat yang muncul seiring bergulirnya sistem multipartai ternyata sirna dan banyak elit politik baru di legislatif/eksekutif terlibat korupsi.

Selain itu, tidak adanya perubahan seperti yang dijanjikan para parpol dan kandidat dalam Pilkada sebelum pemilihan mendorong para pemilih yang kritis akan berpikir skeptis. Masyarakat pun berpandangan bahwa memilih atau tidak memilih sama saja karena tidak ada perubahan.

Kondisi itu terlihat dari hasil jejak pendapat Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) terhadap hasil dari Pemilu 1999. Dari jejak pendapat yang bersifat acak tersebut, ternyata masyarakat cenderung ragu partai politik yang ada akan memenuhi komitmennya pada kepentingan masyarakat setelah Pemilu usai. Mereka bercermin pada Pemilihan Umum 1999 yang dinilai hasilnya tak memuaskan.

Karena itu, menjelang Pemilu legislatif yang digelar 5 April 2004, masih banyak masyarakat yang belum menentukan pilihannya (undecided voter). Jajak pendapat itu menemukan fakta bahwa angka undecided voter cukup tinggi, berkisar antara 35 hingga 60% dari seluruh partai, berdasarkan perbandingan Pemilu 1999.

Jajak pendapat LP3ES juga mencatat 60% responden menyatakan tidak puas dengan hasil Pemilu 1999. Karena itu, meski dibarengi dengan sistem Pemilu yang baru, masyarakat masih ragu Pemilu 2004 mengubah keadaan menjadi lebih baik. Bahkan 43% responden menyatakan tidak yakin, sedangkan 24% tak punya pendapat apa-apa. Hanya 33% yang berpikiran sebaliknya, bahwa pemilu 2004 akan membawa perubahan.

Setelah Pemilu multipartai kedua pada 2004, ternyata masyarakat tetap tidak puas terhadap kinerja partai yang ada. Survei Indo Barometer yang dilakukan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 26 November hingga 7 Desember 2007 menunjukkan mayoritas masyarakat menilai kinerja partai politik masih buruk dan tidak memuaskan publik.

Dengan jumlah sampel sebanyak 1.200 responden, dengan margin of error sebesar kurang lebih 3,0% pada tingkat kepercayaan 95%, Survei Indo Barometer menemukan, mayoritas publik Indonesia relatif kurang puas terhadap kinerja parpol. “Tingkat kepuasan hanya sebesar 30,1%, sedangkan yang tidak puas 54,6%, dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 15,3%,” ungkap Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.

Bahkan banyaknya partai politik, menurut Qodari, berpotensi menjadi masalah. Pertama, sistem presidensialisme kurang cocok dengan multipartai ekstrem. Akibatnya, dengan kekuatan politik terpecah, konsolidasi politik dan eksekusi kebijakan sulit dilakukan.

Kedua, banyaknya partai tidak dibarengi dengan tawaran pemikiran dan program kerja yang bervariasi. Kalau begini, banyaknya partai tidak bisa memberi nilai tambah, malah akan membingungkan masyarakat saja. “Kalau sudah bingung kualitas pilihan masyarakat akan turun atau malah golput,” ujarnya.

Hasil survey dan penelitian di lapangan CSIS menyebutkan, saat ini 30% pemilih Indonesia belum menentukan pilihan parpolnya. Di antara yang sudah menentukan pilihan di antaranya PDI-P merupakan partai yang paling populer, diikuti oleh Golkar, kemudian PKS. Banyak dari pemilih Indonesia yang akan menentukan pilihan politiknya pada hari Pemilu.


Partai Islam dan Sikap Masyarakat

Dalam konstelasi politik Indonesia, polarisasi partai politik yang paling menonjol adalah antara partai Islam dan partai nasionalis. Dalam dunia akademik, biasanya definisi partai Islam itu dibagi menjadi tiga. Pertama, partai yang menganut asas Islam (dan tentu basis massanya adalah Islam) seperti PPP, PKS, PBB, dan PBR. Kedua, partai yang tidak menganut asas Islam tetapi berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN. Ketiga, definisi yang tidak memisahkan keduanya. Artinya, yang disebut partai Islam mencakup baik yang berasas Islam maupun tidak berasas Islam namun berbasis massa Islam. Lantas, bagaimana publik Indonesia memaknai partai Islam? Apa definisi partai Islam menurut publik Indonesia?

Survei Indo Barometer mengajukan pertanyaan terbuka kepada publik Indonesia tentang pengertian dari partai Islam. Ternyata jawaban tertinggi adalah partai yang berasaskan Islam (28,3%); partai yang mayoritas pemilihnya Islam (24,2%), partai yang didirikan ormas Islam (15,8%), dan partai yang pengurusnya seluruhnya orang Islam (5,8%).

Masalahnya, dari hasil survey Indo Barometer, ternyata persepsi masyarakat terhadap partai Islam tidak terlalu berbeda dengan partai nasionalis, baik dalam hal partai maupun perilaku elit/pengurusnya. Tidak kalah menarik adalah tingkat penerimaan publik umum Indonesia yang hampir sama terhadap partai manapun yang menang Pemilu, lepas dari latar belakang atau labelnya, baik partai Islam maupun nasionalis.

Secara umum menjelang penyelenggaraan Pemilu ketiga 2009, wajah partai politik, termasuk berlabel Islam, belum juga menampilkan pembaruan berarti. Sembilan tahun lepas dari hegemoni negara tampaknya belum menjadi tempo yang cukup bagi parpol untuk berbenah. Setelah dua kali masa Pemilu (Pemilu 1999 dan 2004) ada kecenderungan kian terkikisnya pandangan positif publik terhadap parpol. Bahkan kini muncul sikap pragmatis masyarakat terhadap parpol.

Meski bermunculan parpol baru, masyarakat menganggap parpol, baik yang baru maupun yang sudah mapan, belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat. Masyarakat yang berharap usai Pemilu keadaan akan berubah harus kecewa berat. Janji-janji muluk yang dilontarkan semasa kampanye ternyata tinggal janji.

Kondisi tersebut terungkap dalam survei Indo Barometer. Jangan kaget, publik justru menganggap peran parpol paling menonjol adalah memperjuangkan kepentingan partai dan pengurus partai itu sendiri (18,3%); disusul memperebutkan kekuasaan di pemerintahan (18,3%).

Adapun peran positif seperti pendidikan politik dan kaderisasi kepemimpinan persentasenya hanya secuil; masing-masing 7,5% dan 2,6%. “Mereka yang tidak puas menilai parpol tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat, kerja parpol tidak dirasakan rakyat, dan parpol tidak bermanfaat,” ujar M. Qodari.

Di sisi lain, kiprah parpol sebagai entitas politik lebih mencitrakan sebagai sebuah satuan politik untuk mencapai kekuasaan atau bentuk-bentuk keuntungan materi lainnya daripada sebagai saluran kehendak umum. Bahkan seiring era Pilkada, peran parpol yang asal mencari menang kian terlihat. Koalisi antarparpol yang berseberangan ideologi atau beradu kepentingan di tingkat pusat, pudar di daerah, menjadi kendaraan politik untuk memenangkan calon yang dimajukan.

Lebih menyedihkan lagi, peran parpol sejak tahap pengorganisasian internal, penyerapan dan pelaksanaan aspirasi masyarakat, sampai dengan kemampuan mereka dalam mengambil jarak terhadap kebijakan Pemerintah sebagai pengoreksi juga sangat rendah. Yang terjadi, parpol malah menjadi pemberi stempel dengan melegitimasi kepentingan penguasa. Lebih parah lagi, beberapa parpol justru menjadi kaki tangan kepentingan asing dengan menngesahkan UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA, UU Parpol.

Akibat semua itu sangat wajar jika kini semakin banyak masyarakat yang lebih senang berdiam di rumah atau mengerjakan hal lain ketimbang datang ke tempat pemungutan suara. Fenomena ini bisa menjadi bukti telah terjadi krisis kepercayaan di dalam diri masyarakat terhadap parpol. [Yulianto]

Tidak ada komentar: