Jumat, 12 September 2008

Kelangkaan Minyak Tanah Bisakah Dijelaskan?

Kelangkaan Minyak Tanah Bisakah Dijelaskan?


- Kelangkaan minyak tanah terjadi di wilayah Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor, dan sejumlah daerah. Hal tersebut dikhawatirkan bisa meluas bila tidak cepat-cepat ditangani, termasuk di Jawa Tengah. Pemandangan yang agak aneh terjadi ketika puluhan orang harus berdiri antre membeli minyak tanah. Bagaimana situasi seperti itu bisa terjadi pada masa sekarang? Dapatkah dijelaskan bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya. Apakah ada persoalan di produksi ataukah di distribusi. Yang jelas, tidak ada alasan untuk membiarkan hal itu terus terjadi dan tidak ada pula alasan bagi pemerintah atau dalam hal ini Pertamina untuk tidak mampu mengatasinya.

- Dalam persoalan seperti ini sering kali banyak pihak saling melempar tanggung jawab. Pada akhirnya sulit dijelaskan, apa sebenarnya yang terjadi. Untuk masalah ini, pemerintah tak boleh main-main. Sebab, minyak tanah termasuk komoditas vital dan strategis serta dipergunakan oleh masyarakat yang berpenghasilan kecil. Dugaan sementara mengatakan ada kesengajaan pihak-pihak tertentu untuk mengambil sebagian dari kuota minyak tanah yang disubsidi. Apalagi motifnya, kalau bukan mencari keuntungan. Sekitar 30 persen diperkirakan hilang dan hal itu tentu dilakukan oleh mereka, yang biasa memainkan distribusi.

- Seperti diketahui, untuk membantu rakyat kecil, pemerintah menyubsidi minyak tanah. Subsidi sebesar Rp 2000 diberikan bagi sekitar 9,9 juta kiloliter minyak tanah. Dan sepertiganya diduga hilang dari pasaran saat distribusi. Inilah salah satu kelemahan pola subsidi, yakni mendorong pihak-pihak tertentu untuk mengambil bagian dan menjual kembali di luar jalur agar memperoleh keuntungan besar. Dan ketika yang diambil sudah begitu banyak, maka distribusi di pasar terganggu. Sebab, permintaan minyak tanah relatif tetap serta sudah bisa diperkirakan sebelumnya. Dengan demikian, gangguan bukan kepada produksi atau pasokan, melainkan kepada distribusinya.

- Dapat diduga, itulah permainan spekulan dan pedagang. Pola seperti itu sudah dikenal dan sudah pula banyak kegiatan penyelundupan BBM bersubsidi ke luar negeri yang berhasil dibongkar, tetapi mengapa masih terus terjadi. Mungkinkah mereka lebih lihai dibanding aparat keamanan ataukah justru telah melakukan kerja sama dengan aparat serta oknum-oknum di dalam Pertamina. Boleh saja dugaan tersebut dikembangkan sebagai bahan penyelidikan. Bagaimana pun hal itu tak boleh dibiarkan dan sesungguhnya tidak sulit pula melacaknya, sebab pola distribusi yang ada bukanlah sesuatu yang baru dan sudah berjalan sejak dahulu.

- Rasanya kita tak akan bisa menjelaskan kelangkaan minyak tanah dalam arti mencari alasan pembenar, maka pemerintah, khususnya Pertamina, mesti bertanggung jawab. Ini bukan main-main, sebab sebagai komoditas vital dampak permasalahan seperti itu bisa meluas. Tidak hanya dampak ekonomi, tetapi juga sosial, politik, dan sebagainya. Mengurusi soal minyak tanah saja tidak beres, apalagi yang lain. Untuk itu, ukuran keberhasilan atau citra sebuah pemerintahan sebenarnya tergantung kepada urusan-urusan pelayanan rakyat kecil seperti ini. Maka, mau tidak mau, kelangkaan minyak tanah, terlepas dari apa penyebabnya, tidak boleh terjadi.

- Betapa penting menguasai jaringan distribusi untuk komoditas seperti minyak tanah. Pemain swasta, terutama pedagang, tak harus dimatikan perannya, namun harus tetap diawasi ketat agar mereka tak menyeleweng. Barang-barang dengan harga subsidi rawan terhadap penyelewengan seperti itu, sebab pedagang pun selalu melihat besarnya peluang meraup keuntungan besar. Memperoleh barang dengan harga subsidi, kemudian menjualnya di pasar bebas dengan harga normal. Bagaimanapun juga, tindakan pelanggaran seperti itu harus dipatahkan. Dan Pertamina tentu mempunyai pengalaman untuk tidak bisa dibodohi, kecuali jika ada orang dalam yang justru ikut bermain.

Suara Merdeka, Kamis, 30 Nopember 2006

Tidak ada komentar: